Sabtu, 27 September 2008

Bioetanol Dari Pisang

Pisang batu pun berpotensi sebagai bahan baku seperti dibuktikan oleh Ir Sidik Omar.membuat bioetanol berbahan baku pisang batu. Ide itu muncul lantaran ia terbiasa membikin wine pisang. Maka jadilah ia membuat bioetanol pisang batu berkadar 30-40%. Produksinya memang masih kecil, 2,4 liter per hari dari 1 kg pisang.

Selama ini pisang batu muda paling banter hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku rujak. Pekebun menanam pisang batu lebih memilih untuk memetik daun ketimbang buah. Menurut Omar biaya produksi bioetanol pisang mencapai Rp3.700 per kg. Yang menggembirakan baginya, suku cadang yang dibersihkan dengan bioetanol pisang lebih bagus hasilnya.

'Cat melekat lebih kuat dan warna lebih cerah,' kata ayah 3 anak itu. Pantas bila enam pengusaha suku cadang minta pasokan bioetanol pisang secara rutin. PT Multicamp dan PT Sanwa masing-masing meminta pasokan 500-600 liter per pekan. Tentu saja pria kelahiran 9 September 1955 itu bungah. Oleh karena itu ia tengah membangun pabrik bioetanol. Pada Oktober 2008, pabrik berkapasitas 600 liter berhari beroperasi.

Kreativitas acap muncul justru ketika tekanan begitu berat. Itulah yang terjadi kini. Saat minyak bumi langka sehingga harga kian terkerek, para produsen bahan bakar nabati mengolah beragam limbah: jelantah, sampah, nyamplung, dan pisang batu sebagai sumber energi. Bahan baku tersedia, ramah lingkungan, kinerja mesin membaik, dan yang penting pasar pun terbuka.
Sumber: Trubus

Senin, 08 September 2008

Makhluk Mini Pengisi Tangki

Alga Chlorella menjadi alternatif bahan baku biopremium setelah komoditas nira, singkong, atau sorgum yang lebih dulu sohor. Selain alga, semua bahan baku bioetanol itu lazim dikembangkan di lahan luas dan subur. Dibanding sumber nabati lain, alga paling ekonomis menghasilkan bioetanol. Musababnya, ganggang hijau itu kaya karbohidrat, tak memerlukan perawatan khusus, dan mudah tumbuh.

Chlorella termasuk alga mikro karena ukuran tubuhnya sangat renik dari 0,2 µm hinga 0,02 cm (10-6 - 10-4 m). Untuk melihat wujudnya dengan jelas kita memerlukan mikroskop. Tidak semua jenis alga mikro hidup sebagai fitoplankton, tetapi semua jenis fitoplankton bisa digolongkan ke dalam alga mikro. Tumbuhan mikroskopis bersel tunggal dan berkoloni itu terdiri atas 30.000 spesies. Habitatnya di atas permukaan air, di kolom perairan, atau menempel di dasar dan permukaan lain dalam perairan.

Dari penelitian sejak 2007 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, membuktikan tumbuhan bersel satu itu mampu menghasilkan bioetanol. Anggota famili Chlorophyeceae itu kaya karbohidrat yang penting dalam pembuatan bioetanol. Kadar karbohidratnya 29-31% setara karbohidrat dalam singkong. Singkong berkadar pati 23% sehingga untuk menghasilkan seliter bioetanol perlu 6,5 kg. Dengan bahan baku Chlorella sp, jumlah biopremium yang dihasilkan 100 kali lipat, karena pemanenan dapat dilakukan berkali-kali.

Tumbuh cepat

Walau ukurannya sangat mikroskopis, Chlorella tetap memiliki zat hijau daun berupa pigmen kloroplas dalam tubuhnya. Pigmen itulah yang menyebabkan ia bisa melangsungkan proses fotosintesis. Fotosintesis berlangsung dalam jaringan tilakoid lantaran ia tanpa memliki daun. Jaringan itu berperan pula sebagai penghubung antarkloroplas. Karena berfotosintesis, maka organisme yang hidup di atas permukaan air itu juga mampu menghasilkan karbohidrat.

Dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi, pertumbuhan alga jauh lebih cepat sekitar 10-20 kali lipat. Itu akibat dari mekanisme fisiologisnya yang jauh lebih efektif. Tidak seperti tumbuhan multiseluler yang menyerap air dan unsur hara melalui akar, tumbuhan bersel satu yang hidup di air tawar itu menyerap nutrisi melalui permukaan tubuhnya. Caranya dengan mekanisme difusi-osmosis. Mekanisme itu berlangsung karena adanya perbedaan konsentrasi zat terlarut.

Mengkultivasi atau membudidayakan Chlorella dalam skala rumahan sangat memungkinkan. Sebab, masyarakat pesisir lazim mengembangkan plankton sebagai pakan udang. Plankton salah satu jenis mikro alga. Dalam skala industri, kultivsi alga dilakukan di dalam biorekator berbahan akrilik. Diameter bioreaktor 20 cm dan tinggi 1,5 mter. Dari hasil penelitian, posisi bioreaktor sebaiknya vertikal. Tujuannya supaya semua bagian alga bisa melakukan fotosintesis.

Cara itu juga bisa menghemat tempat sampai 16 kali lipat, dibandingkan diletakkan secara horizontal. Bioreaktor sebaiknya tertutup untuk mencegah kontaminasi. Untuk skala rumahan stoples memadai sebagai wadah kultivasi. Bahan lain memungkinkan sepanjang tembus sinar matahari, sehingga ganggang bisa tumbuh sempurna. Bibit alga antara lain dapat diperoleh di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Keperluan bibit hanya 10%.

Jika air 100 liter berarti 10 liter bibit. Produsen hanya perlu bibit asal air bersih tanpa kontaminasi. Namun, jika air kotor berikan vitamin. Enam hari kemudian, alga berbiak sehingga seluruh bioreaktor terisi alga. Karena laju pertumbuhannya sangat cepat, maka pemanenan pun bisa dilakukan dalam waktu singkat. Hanya dalam 7-15 hari, mikroalga sudah bisa dipanen.

Ramah lingkungan

Chlorella yang siap panen berubah warna dari hijau menjadi hijau kecokelatan. Bandingkan dengan bahan baku biopremium lain yang membutuhkan waktu panen antara 9 bulan-3 tahun. Keuntungan lain? Panen bisa dilakukan berkali-kali dalam waktu singkat. Jadi hasil akhirnya jauh lebih banyak.

Untuk memanen, tinggal menyaring dengan ukuran mesh 0,2 mikron. Alga itu lantas dievaporasi selama 5 menit untuk menguapkan air. Begitu dingin, tambahkan ragi Sacharomyces cereviceae pemecah karbohidrat menjadi gula. Selain itu tambahkan sedikit gandum sebagai pakan ragi.

Fermentasi selam 3 hari menghasilkan cairan mirip wine berkadar alkohol 5%. Pada cairan itu tambahkan enzim alfa amilase untuk memecah glukosa menjadi alkohol. Hasilnya 20-30% bioetanol. Selama pengolahan alga menjadi bioetanol, menghasilkan ampas berkadar protein tinggi sebagai pakan ternak.

Memanfaatkan alga mikro untuk bahan baku bioetanol sangat ramah lingkungan. Sebab, tak menyebabkan polusi dan aplikatif. Keuntungan lain alga mikro mampu menyerap karbondioksida dan mengkonversikannya menjadi oksigen. Sebanyak 90% dari bobot kering alga mikro menyerap karbondioksida sehingga mampu mengurangi gas itu sampai 1.000 ton/ha/tahun.

Dengan berbagai keistimewaan itu, alga salah satu komoditas potensial sebagai bahan baku biopremium. Ukuran boleh kecil, tetapi faedahnya amat besar. Masa kultivasi singkat, hanya sepekan, tak perlu lahan luas, pengolahan sederhana, dan ramah lingkungan. (Ir Mujizat Kawaroe MSc, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor serta periset di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi).

Sumber: di copy dari trubus